Mbak Triana, Sosok Pendiri Griya Schizofren yang Mengingatkanku pada Lek Wanti

 "Saya menguburkan sendiri Ibu saya. Ibu saya sudah lama sakit, tapi saya tetap tidak siap kehilangan beliau. Saya sadar, saat meninggal, kita tak membawa apapun. Seberapapun banyak harta atau benda yang kita miliki. Dari situ saya sadar, saya harus menjadi anak sholeh dan bisa mendoakan ibu saya serta menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama".

 


Seorang perempuan paruh baya bercerita tentang kisah hidupnya bersama Skizofrenia dengan berapi-api. Rasanya saya ikut ada dalam bagian kehidupan mbak Triana. Semangatnya membara, dan itu tak hanya lewat kata-kata bak motivator. Beliau adalah pelaku. Seorang perempuan yang mengabdikan hidupnya bagi Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dan juga keluarga ODMK. Namanya Triana Rahmawati, perempuan kelahiran Palembang yang saat ini tinggal dan menetap di kota Solo. 

Mbak Tria, begitu nama panggilan akrab perempuan almamater Universitas Negeri Sebelas Maret dan sekarang juga mengabdi sebagai dosen di kampus yang sama. Usianya baru 33 tahun tapi kiprah dan hidupnya sudah bermanfaat bagi banyak orang. Bahkan sejak muda, tepatnya ketika menjadi mahasiswa di UNS sekitar tiga belas tahun yang lalu dia sudah memulai mendirikan Griya Schizofren di Surakarta. 

Jujur, saya menjadi sangat malu. Di usia saya yang sudah memasuki kepala empat, rasanya saya belum menjadi "manusia bermanfaat" bagi sesama. Mengingat bagaimana saya terkadang masih mengeluh ketika merawat Ibu yang menderita stroke dan demensia. Rasanya saya tertampar. Mbak Tria, bahkan dengan tulus mendekati ODMK, membimbing mereka, bergaul tanpa rasa takut bahkan juga memberi pendampingan bagi keluarga yang merawat ODMK bahkan menumbuhkan relawan-relawan baru yang bergerak bersama Griya Schizofren.

Mbak Tria memulai ceritanya dengan tersenyum, gigi gingsul di sebelah kanan semakin memperlihatkan keramahan dan manisnya mbak Tria. 

Cerita dimulai dari kehidupan "orang yang dianggap gila" oleh masyarakat atau penderita Skizofrenia di kota Solo. Serta kampus Mbak Tria yang dekat dengan RSJ Surakarta. 

Mendengar tentang Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta  membuat saya kembali mengingat tentang adik ibu mertua saya yang dulu sempat dirawat di rumah sakit tersebut. Namanya Lek Wanti, tinggal di Jakarta tapi sering tiba-tiba muncul di Jogja, dengan tingkah yang aneh dan jujur membuat saya takut. Saya, sebagai warga baru di keluarga suami masih sebagai pengamat saja. 

Lek Wanti tinggal beberapa saat di rumah, hingga perilakunya semakin tak terkontrol dan biasanya ada saudara dari RS di Solo tersebut yang akan membawa beliau dan memberi obat. Setelah sembuh, Lek Wanti akan minta pulang ke Jakarta. Kejadian seperti itu berulang, beberapa kali. 

Lek Wanti terkadang bisa berkomunikasi dengan baik, beraktivitas layaknya orang normal. Makan, minum, nonton televisi, yah seperti orang biasa. Tetapi ada kalanya, saya sadar ada barang-barang yang hilang, dari sendok, gelas bahkan biskuit-biskuit kaleng. Dan ternyata, semua barang-barang itu ada di kamar Lek Wanti.

Hingga suatu hari, entah saat itu kepulangan Lek Wanti yang keberapa kali. Saya dan suami baru pulang dari kerja dan melihat Ibu mertua dan Lek Wanti berantem hebat, bahkan ada keluarga lain yang ikut memarahi Lek Wanti. Lek Wanti diusir.  Waktu itu saya punya bayi, meski jujur terkadang takut terjadi apa-apa dengan anak saya, tetapi saya juga tidak tega jika Lek diusir dengan kondisi yang bisa saja dia lupa segalanya. Saya tidak tega, tapi saya juga tidak bisa apa-apa. Saya hanya bisa menangis, dan meminta suami menyusul di sebrang jalan, barangkali Lek belum naik bis. Tapi terlambat.

Puji Tuhan, Lek bisa sampai di Jakarta dengan selamat.  Akhirnya keluarga besar memutuskan untuk menitipkan Lek Wanti di sebuah panti, supaya lebih aman dan terawat. Sejak saat itu saya belum pernah bertemu Lek Wanti, jika diingat sudah 12 tahun yang lalu.  Dari penjelasan Mbak Tria, tempat terbaik memang dengan keluarga, orang terdekat yang mengenal. Bukan orang lain. 

Ah. Seandainya saya tahu Orang Dengan Gangguan Jiwa tetap bisa berdampingan dengan keluarganya. Tapi, tak ada kata terlambat, edukasi Mbak Tria tentang "Memanusiakan Orang dengan Masalah Kejiwaan" telah menyasar ke keluarga-keluarga  yang memiliki  anggota keluarga ODMK. Informasi yang lengkap dan jelas tentang masalah kejiwaan bisa disampaikan lewat edukasi-edukasi, baik bagi keluarga penyintas ataupun ODMK itu sendiri.

Permulaan Perjalanan Griya Schizofren Surakarta

Daerah Solo timur, ya kawasan UNS termasuk di wilayah Surakarta (Solo) bagian timur. Selain kampus UNS, di dekat situ juga ada ISI Solo dan Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. Kenapa saya familier dengan daerah Solo? Itu karena saya kelahiran Klaten dan dulu waktu masih muda kalau main ya motoran ke kota Solo.

Kembali bercerita tentang Mbak Tria.  Waktu itu Tria muda kuliah di jurusan Sosiologi Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS). Di dekat kampus ada beberapa panti rehabilitasi bagi orang dengan masalah kejiwaan.  Tria  muda tergerak hatinya, ternyata ada banyak ODMK yang tersebar di sudut kota, ada yang terlantar ada pula yang di panti. 

Tria mengajak anak muda lebih peduli dengan ODMK, kemudia mencari tempat sebawai wadah kepedulian mereka. Tempat pertama yang menerima kepeduliannya adalah Griya PMI Peduli milik PMI Surakarta. 

ODMK layaknya manusia normal, bisa diedukasi dan diberikan kepelatihan ringan. Tria membuat aktivitas bersama dengan komunitasnya untuk berkegiatan bersama dengan warga ODMK di Griya PMI Peduli Surakarta. Kegiatan bersama ODMK beragam, semua sifatnya menghibur dan edukatif, seperti  bermain musik bersama, bernyanyi, kelas Eat & Fun, menggambar, mendongeng dan mewarnai. 

Saking cintanya dengan dunia Skizofrenia dan kepeduliaannya pada ODMK, Triana bersama dua rekannya sesama mahasiswa Sosiologi yaitu Febrianti Dwi Lestatri dan Wulandarari pada tahun 2014 mendirikan Griya Schizofren. Sebuah wadah bagi anak-anak muda yang peduli atau mau melakukan aksi kebaikan untuk orang-orang dengan masalah kejiwaan.

Menurut mbak Tria, Jumlah psikolog maupun dokter spesialis kejiwaan di Indonesia masih sangat terbatas. Sementara jumlah ODMK semakin banyak. Jumlahnya tak sebanding.  Dengan situasi tersebut sejatinya, masalah kejiwaan menjadi konsen orang-orang yang nonpsikologis dan nonkedokteran. Masyarakat seharusnya lebih peduli, apalagi keluarga ODMK itu sendiri.

Asal usul nama Griya Schizofren:

Giya adalah rumah;

Schizofren merupakan akronim dari Sc yang merupakan sosial; 

Hi yang memiliki arti humanity atau kemanusiaan; 

Zo memiliki arti Zona; dan 

Fren atau Friendly yang memiliki arti persahabatan. 

Berdirilah Griya Schizofren yang punya misi yaitu menyediakan wadah bagi masyarakat yang ingin memahami lebih dalam tentang masalah kesehatan mental dan bisa terlibat langsung dalam penanganan ODMK, mengadakan kegiatan yang dapat meningkatkan empati terhadap ODMK dan menghapus sekat antara masyarakat dan ODMK.

Saat Jatuh, Bangkitlah!

Namanya manusia, pasti pernah merasa lelah, bosan, kecewa, gagal dan berbagai perasaan negatif lain. Hal ini juga dialami Mbak Tria. Manusiawi banget sich, kita saja yang bergelut dengan kehidupan "normal" sering merasa desperate apalagi mbak Tria yang hidupnya buat orang lain.

"Mas, atau kita sampai di sini saja ya" bercerita pada suami. Mbak Tria pernah merasa di titik jenuh dan berencana untuk berhenti berkarya di Griya Schizofren. Putus asa. Tapi siapa yang menduga jika sepak terjangnya yang dia lakukan dengan tulus mendapat penghargaan dari SATU Indonesia Awards ASTRA pada tahun 2017 untuk kategori individu bidang kesehatan.

"Saya mendapatkan  hadiah uang sebesar enam puluh juta, uang itu sudah masuk ke rekening saya. Saya yang seumur-umur belum pernah punya uang sebesar itu bingung, lalu bertanya pada suami, untuk apa hadiah sebanyak itu" cerita Mbak Tria.

"Suami saya menjawab, saya mendapat uang itu dari OMDK dan sudah selayaknya kita kembalikan ke mereka (OMDK)" Lanjujt mbak Triana.

"Saya bangkit dan melanjutkan Griya Skizofren dengan uang hadiah itu, semua saya gunakan untuk saudara-saudara OMDK" dengan mata berkaca-kaca mbak Tria masih bercerita dengan semangat.

Dari hal ini saya jadi punya pepatah baru "Kamu terbentuk dari orang-orang di sekeliling kamu, orang-orang yang mendukung kamu. Orang sekitar kamu adalah kamu"

Suami dan mbak Tria ini kalau kata orang Jawa "Tumbu oleh tutup" yang artinya dua orang yang sangat cocok atau seras dalam segala hal, seperti wadah (tumbu) yang mendapat tutup yang pas. Perjuangan mbak Tria bagai api yang mendapat siraman minyak yang semakin menyala dan berkobar.

 

Satukan Gerak, Terus Berdampak

Mbak Tria ini orangnya tak hanya berjiwa sosial tetapi juga seorang entrepreneur.  Dia kemudian menjual hasil gambar para ODMK dengan cara berkolaborasi dengan bisnis souvenir yang sudah dia geluti sejak lulus kuliah pada tahun 2015. ODMK adalah manusia seperti halnya kita jika dilatih bisa juga mandiri dan berkarya. Kolaborasi karya para warga yang mengalami masalah kejiwaan dengan bisnis Tria ini di resmikan pada tahun 2018 dengan nama SOLVE (Souvenir & Love). Hal ini membuktikan jika mereka yang dipandang sebelah mata dan dianggap tidak bisa berkarya karena kesehatannya ternyata bisa menghasilkan sesuatu yang bernilai bahkan bisa dijual secara ekonomi.

Saat ini, pandangan negatif terhadap ODMK masih tinggi. Seperti saya dan keluarga suami di masa lalu yang masih belum bisa memahami dengan baik ODMK dan bagaimana penangananya karena kurangnya informasi dan terpengaruh dengan sentimen-sentimen negatif terhadap ODMK jika mereka itu gila, menakutkan dan lain-lain. 

Edukasi dari Mbak Triana ini sangat membukakan mata saya dan sudah seharusnya berita baik ini juga tersebar ke banyak orang dan tidak hanya berhenti di kita. 

Perjuangan Griya Schizofren masih terus  berlanjut dan memiliki target yang lebih luas. "Harapan saya antara lain ingin pendampingan yang lebih spesifik bagi OMDK melalui keluarga. Terutama mereka yang tidak banyak mengakses atau mendapatkan bantuan dari masyarakat" tutur mbak Tria.

Masih banyak ODMK yang tidak terhubung dengan organisasi atau di panti, mereka tidak mendapatkan informasi. Semoga makin banyak yang bisa masuk ke pendampingan keluarga untuk membantu hak-hak mereka secara sosial.

Seandainya waktu bisa diputar kembali ke masa lalu. Seandainya saya sudah mememahami tentang program rilis pendampingan sederhana yang dirilis Mbak Tria. Seandainya saya bisa membawa pulang adik ibu mertua ke rumah, dan memberi perhatian serta perawatan sendiri sehingga Lek Wanti tidak meninggal dunia di Panti tanpa pernah dijenguk kerabatnya. 

Seandainya saya bisa menanggung kembali tanggung jawab yang seharusnya ditanggung oleh Ibu Mertua dan keluarga. Pasti Ibu mertua juga akan lebih bahagia berdampingan dengan adiknya.

Tapi, waktu tak bisa diputar, ketidaktahuan, ketidakpahaman dan ketidak pedulian hanya menjadi penyesalan. Setelah sekian tahun tidak terhubung, bahkan cenderung lupa (melupakan) dengan sosok Lek Wanti. Malam ini saya menangis, mengenang beliau. Menyesal tak pernah bisa menjadi seperti Mbak Tria yang peduli pada ODMK -bahkan yang tidak dia kenal-.

Lek Wanti, sosok yang mungkin saya tidak mengenal sepenuhnya. Di darah saya memang tidak mengalir darah beliau, tetapi bagaimanapun di darah anak-anak saya juga ada darah bulik simbahnya. Saya merasa sangat berdosa. :(

Dari mbak Triana saya jadi tahu untuk mendampingi ODMK sebenarnya tak muluk-muluk dimiliki orang bermental yang kuat. Tapi cukup orang yang tulus dan paham. Edukasi mbak Triana jika kita memiliki tanggung jawab sosial untuk peduli dan memberikan perhatian dari sisi sosial bagi orang-orang yang mengalami masalah kejiwaan terutama di sekitar kita.

"Terimakasih mbak Triana, lelahmu tulus bagi hidup banyak orang (ODMK dan keluarga). Hati saya hangat, mungkin saat ini saya belum bisa menjadi relawan bagi ODMK, tetapi saya ingin memeluk erat Ibu saya, orang terdekat yang ingin disayangi dan diberi waktu diantara beragam alasan kesibukan yang saya (buat) miliki".

Sekali lagi terimakasih Mbak Triana. 



 


Komentar