Siang itu, aku pulang sekolah seperti biasanya. Tapi,
sesampai di rumah, ada hal yang tak biasa kutemui. Di depan rumah ada sedikit keramaian, dari jauh terlihat Ibuku
sedang berbicara dengan yabeberapa orang
Bapak-bapak. Semakin dekat, terdengar jika mereka berbicara dengan nada tinggi,
apalagi seorang Bapak yang mengenakan baju doreng-doreng, dia berbicara sambil menunjuk-nunjuk Ibuku. Wajah Ibu terlihat
takut dan sedih, setelah orang itu
pulang baru Ibu bisa tersenyum melihat kedatanganku.
Saat itu, aku masih kelas 5 SD. Melihat orang marah-marah
dan berteriak seperti itu benar-benar membuat saya trauma dan takut. Saat aku
bertanya apa yang terjadi, Ibu saya hanya tersenyum dan bilang kalau tidak ada
apa-apa, dan itu urusan orang tua, kata Ibu.
Setelah Bapak pulang, Ibu bercerita tentang kejadian itu, sambil belajar, aku menguping
pembicaraan mereka. Ternyata orang yang datang tadi siang adalah anak angkat
tetangga sebelah rumah yang datang dari Jakarta. Dan beberapa perangkat desa.
Orang itu meminta dapur, sumur serta
kamar mandi kami yang berada di belakang rumah untuk di bongkar
karena menurut versi orang yang datang
tadi siang, tanah itu termasuk dalam wilayah tanah yang dia beli dari Budeku.
Disamping rumahku, ada sebuah bangunan yang juga kami
gunakan. Nenek mewariskan bagian depan untuk Ibu dan bagian belakang untuk
Bude, karena Bude juga mendapat tanah di tempat lain. Nenek sudah meninggal
lama sejak Ibuku masih kecil, dan Bude meminta tukaran lokasi, Bude dapat tanah
di depan dan Ibu saya mendapat yang belakang. Sebagai adik yang baik, Ibu nurut
saja dengan Mbakyunya. Dari situ
terlihat siapa yang “nakal”. Ibu saya yang seharusnya mendapat bagian tanah di
pinggir jalan raya besar, ditukar dengan tanah yang di belakang, yang pasti
nilai jualnya sangat berbeda. Tapi Ibu tak pernah berpikiran sejauh itu, minta
ditukar ya OK aja, toh dia Mbakyunya.
Tapi, dengan kedatangan orang itu, Ibu jadi bingung, kok jatah tanah
yang katanya buat dia malah dijual sama Budeku.
Bapak juga sedikit marah dan bingung dengan kejadian itu. Dan meminta
Ibu untuk tenang dan besok ditanyakan langsung dengan mbakyunya.
Beberapa hari kemudian, Ibu memberanikan untuk bertanya sama
Budeku, tapi yang terjadi malah Bude saya marah-marah dan
sepertinya memihak orang itu. Dan
semenjak kejadian itu Bude seperti memusuhi Ibu saya, bahkan anak-anak nya yang
sedari kecil di asuh Ibuku juga tidak mau bertegur sapa dengan kami sekeluarga.
Pasti Ibu terpukul, sedih dan sangat
kecewa, perlakuan yang dia terima sungguh tak pernah dia bayangkan akan berakhir seperti itu. Saat
itu saya tak mengerti apa yang terjadi, baru semenjak SMA saya sadar, lho
bukannya seharusnya Ib u saya yang marah dan tidak terima, ini kok malah
kebalik.
Selain dibenci oleh Bude dan sekeluarga, Bapak dan Ibu masih
diteror oleh Bapak-bapak berbaju doreng
itu. Setelah melewati beberapa kali
pertemuan, tetap saja tidak menghasilkan kesepakatan. Orang itu menuntut gang
disebelah kiri rumah menjadi bagiannya, dan dapur beserta sumur dibelakang
rumah menjadi milik dia.
Ibu saya berusaha menelusur riwayat tanah itu sebelum
menjadi milik Nenek saya. Dan beruntung Ibu itu masih ada, walaupun sudah sepuh
beliau masih ingat jelas, jika dia menjual rumah itu beserta sumur dan dapur
yang ada di belakang rumah walaupun tidak dimasukkan dalam sertifikat. Karena
jaman dulu, tidak seperti sekarang, yang tercatat cuma 150 meter dan dapur,
senthong(kamar tempat menyimpan bahan pokok) beserta sumur menjadi bonus, itu
kata si pemilik rumah sebelumnya.
Selain dengan pemilik rumah itu, Ibu juga bertanya dengan
aparat desa dan warga yang sudah sepuh di desaku. Dan versi mereka sama, jika
rumah itu dibeli nenek saya lengkap beserta dapur, sumur dan sebuah kamar.
Singkat cerita, Ibu saya tetap kalah, kami kehilangan dapur
dan sumur kami. Bahkan gang disamping rumah juga “dipek” (dimiliki) orang itu,
dan meminta semua akses ke gang ditutup. Sehingga semua jendela dan pintu ke
samping ditutup tembok. Dan rumah saya gelap tanpa jendela.
Saat itu, aku dan ketiga adikku yang masih kecil sering
merasa ketakutan dengan kehadiran orang tadi yang selalu marah-marah dan
memojokkan Ibu, apalagi saat siang Bapak tidak dirumah. Tetangga-tetangga bersimpati dengan
keluargaku, apalagi ternyata banyak orang yang mengalami kejadian serupa.
Tanahnya “direbut” dengan cara yang nakal oleh orang itu. Dan tetanggaku mendoakan
yang hal yang buruk pada orang itu, dan
mempunyai panggilan khusus bagi orang itu yaitu Jendral Dekok. Dekok dalam bahasa jawa artinya cekung atau
bengkok. Dan sepertinya panggilan itu bermakna negatif.
Jujur, aku benci dengan orang itu dan ikut-ikutan sering
memanggil orang itu dengan sebutan
Jendral Dekok. Tapi Ibu memarahiku dan aku tidak boleh menghina orang, apalagi
yang lebih tua. Sungguh, Ibuku terlalu sabar menghadapi orang seperti itu.
Masalah dapur dan
sumur yang dicaplok orang Ibu tidak terlalu ambil pusing, toh kami bisa
membangun lagi disamping kanan rumah, tapi kehilangan seorang mbakyu yang
sedari kecil bersama, itu merupakan pukulan yang berat. Tidak dianggap dan
dikenal, bahkan ada salah satu anaknya yang mendamprat Ibu dan menyalahkan
Ibuku. Padahal sebelumnya Mas itu sangat baik padaku dan Ibuku.
Beberapa tahun
berlalu, dan Bude tetap membenci Ibu sekeluarga. Bapakku biasa saja dan
membalas kebencian itu juga dengan kebencian, tapi tidak dengan Ibuku, setiap
lebaran Ibu masih menyempatkan datang dan meminta maaf dengan Mbakyunya,
walaupun ditanggapi dengan dingin dan sinis. Beruntung pakdeku masih bersikap
ramah. Bude memang terkenal sangat galak, dan keluarganya terhitung “priyayi”.
Tak banyak orang yang berani memasuki pekaragan dan rumahnya. Setiap ada orang
punya hajat dan harus m engantar makanan ke rumah Bude, pasti saya yang disuruh
untuk mengantar, yang lain tidak berani, takut disemprot.
Pada suatu hari
Bude saya mantu, punya hajat menikahkan salah satu putrinya. Dan Ibu sama
sekali tidak diundang dan diberi tahu. Padahal semua warga kampung jagong ke
gedung dan dan sudah disewain bis untuk transportasi. Saat semua orang
berduyun-duyun menaiki bis, Ibu hanya melihat dan terdiam. Saat itu, aku tidak
tahu apa yang terjadi dan belum “mengerti”. Saat dewasa, baru saya sadar betapa
sakit dan sedihnya hat Ibu saat itu. Tak dianggap dan ditiadakan oleh orang
yang dia sayangi dan dia panuti, mbakyunya sendiri.
Beberapa tahun
berlalu, saat SMA bude saya mengalami stroke. Penyakit darah tinggi, diabetes
dan penyakit komplikasi laiinya menyebabkan beliau tak bisa berbicara dan
berjalan. Hanya duduk di kursi roda, segala hal harus dibantu suaminya. Sungguh
Ibu saya sedih mengetahui hal itu, sedang saya “nyokorke”, malah senang tahu
hal itu dan menganggap itu karma. Lagi-lagi, Ibu tak menyukai tindakan saya. Dan saya menganggap Ibu
terlalu bodoh, dari kecil diapusi diam saja.
Saat ngobrol
berdua, Ibu terkadang tak sadar bercerita tentang masa kecilnya, banyak
peninggalan nenek yang seharusnya menjadi milik Ibu diminta Bude, seperti
Peniti emas, rantai jam jaman dulu yang juga emas, bahkan cincin-cincin
peninggalan nenek dari berlian juga diminta. Saat itu Ibu ga ngerti itu barang
apa sehingga manut saja saat diminta, setelah dewasa baru tahu kalau itu barang
berharga. Tuhkan, mau aja Ibu diapusi
lagi. Jujur aku menjadi tambah benci dengan bude.
Sebenarnya, Bude
bukan kakak kandung Ibu. Mereka berdua sama-sama anak angkat, Ibu saya anak
adek Nenek dan Bude anak seseorang yang
sama –sama juga dari Gunung sana. Jadi kalo dirunut, Ibu masih ponakan
Nenek sedang Bude sama sekali tak ada pertalian darah. Dan “orang beruntung”
yang diambil anak sama juragan Kain Batik, Nenek saya.
Jadi, sebenarnya
kehilangan Bude seharusnya bukan beban, Ibu masih punya mbak dan adik kandung
di gunung sana. Sebelum sakit, Ibu sering mengingatkan Bude untuk mengunjungi
makamIbu kandungnya dan meminta maaf karena sebelumnya tak “mau” mengenal
beliau. Dan bude tidak mau. Dan sungguh
Ibu sedih dengan kejadian itu. Kebencianku bertambah, tapi lagi-lagi Ibu slalu
bercerita kalau Bude itu baik.
Aku tak habis
pikir, kenapa Ibu masih saja menyempatkan untuk menjenguk Bude, orang yang
jahat terhadap dia, dan apa kata Ibu. Kita harus baik terhadap orang lain
apalagi saudara. Bah.....jujur aku bukan cinderella yang berhati putih, rasa
benci tertanam dihatiku. Kasihan, kata Ibu, bude sudah tak berdaya dan kita
tidak pantas membencinya. Rasanya masih jelas dalam ingatanku, Bude membela si
penyerobot tanah dan ikut memarahi Ibu, adiknya yang seharusnya dibela.
Dan Pakdeku
tiba-tiba ikut sakit, terjatuh dari motor dan tangan kananya tidak bisa
digunakan secara maksimal. Padahal sebulan dua kali Bude harus kontrol ke RS
Sarjidto, dan tidak ada satupun anaknya dirumah, padahal tangan pakde tidak
bisa digunakan untuk mengangkat Bude dari kursi roda ke mobil. Serta mendorong
kursi roda saat wira-wiri di RS. Dan siapa yang membantu, jelaslah si Ibu
cantik nan baik hati Ibu ku. Padahal adik-adik pakde juga banyak dan rumahnya
berdekatan. Tapi untuk membantu? Aku rasa
mereka mempunyai alasan untuk menolaknya.
Lagi-lagi Ibu
bertingkah bodoh, ngapain lagi membant orang yang membencinya. Ngapainnnnnnn?
Mending jualan cari uang buat nambah pendapatan. Tapi, Ibu dengan senang hati
menolong, membantu Mbakyu tersayangnya, tak peduli dia masih dibenci, tak
peduli saat sampai di rumah mengeluh tangannya sakit. Dan pasti karena
membopong Budelah.
Sampai Bude
meninggal, Ibu membantu merawatnya, saat menjelang ajalpun Ibu yang berada
disamping Bude. Entah, adakah kata maaf dari Bude terhadap Ibu karena beliau
belum bisa berbicara lancar, semenjak stroke. Tapi, jauuh sebelum Bude sakitpun
aku tahu Ibu telah memaafkannya.
Kebenciang dalam
hatiku, adik-adikku, Bapakku perlahan mencair melihat apa yang selama ini
dilakukan Ibu. Orang yang seharusnya merasa paling sakit dan pedih dan bisa
saja Ibu membenci Bude, tapi kata Ibu “kita harus apikan sama orang lain”.
Sepeninggal Bude,
hubungan keluargaku dan keluarga pakde kembali harmonis.Anak-anaknya kembali
menganggap Ibukulah orang terdekat mereka, karna sedari kecil Ibu yang membantu
Bude merawat mereka.
Begitupun dengan
si penyerobot tanah, saat Bapakku lebih milih masuk rumah saat orang itu lewat
depan rumah, Ibu dengan ramah menyapanya. Saat aku adikku dan tetangga
menyumpah serapahi dia, Ibu mendoakan kebaikan buat dia.
Entah, hati Ibu
terbuat dari apa banyak hal yang menurut saya “bodoh” dia lakukan. Berbuat baik
dengan orang jahat, kembali ditipu orang tapi memaafkan dengan gampang dan itu
sering dia lakukan. Bahkan terkadang
Bapak bilang Ibu itu bodo, gelem wae
diapusi. Tapi menurut Ibu, dia berniat berbuat baik, jika dibalas dengan
kejahatan biar itu urusan Tuhan......
Wuihhh, enak
banget ya, ‘nek aku wis tak antemi Buk....
Ibuku, ibu rumah
tangga biasa, wanita cantik berkulit kuning bermata sipit yang kata orang aku
mirip beliau..ihiirrrr, berarti aku juga ayu donk,hehehe.... Pekerja keras, tak
malu berjualan apa saja walaupun dulu hidup berkecukupan, demi keluarga ikut
membanting tulang demi roda perekonomian keluarga. Perjuangannya tak bisa
diragukan, semua demi anak. Pergaulannya yang luwes dengan semua orang dari
semua kalangan, tak ragu berbincang dan bergaul dengan pejabat atau
juragan-juragan saat orang lain keder menghadapi mereka. Atau tak malu
bercengkrama dengan kaum papa. Bahkan saat ada janda yang tak mampu meninggal,
tak ada satupun yang mendekat untuk segera memandikan, Ibukulah orang pertama
yang berinisiatif untuk segera dimandikan, padahal keyakinan Ibu saya berbeda
dengan mereka, banyak tetangga seiman yang seharusnya lebih tahu dengan tata
caranya. Entah, mungkin mereka sungkan atau tak sudi memandikan mbah-mbah tua
yang fakir.
Sungguh, saat
ditanya siapa orang yang berhati samudera, dialah Ibuku, wanita tak kenal lelah
yang saat ini berjualan dawet dan menjaga toko kecilnya. Sedikit membantu Bapak
menbiayai kuliah adikku terkecil. Sedang aku yang sok-sokkan berlife style mewah,
walapun saat tanggal tua masih dilempari rupiah dari beliau.
Tak pernah ada
benci dihatinya, hanya maaf yang selalu dia berikan.
Bahkan saat
bisnis yang aku rintis tiba-tiba ambruk. Semua aset hilang bahkan masih
menyisakan hutang. Dan semua karena kesalahanku. Besar pasak dari pada tiang.
Walopun usahaku lancar dan sukses tapi tak sebanding dengan pengeluaranku yang
lebih besar. Pergaulan yang salah memang menyisakan kepahitan, lifestyle yang aku kejar tak sebanding dengan
pendapatan. Kata mas sepupu, mereka balungan(tulang)kuat , berasal dari
keluarga yang dari sononya sudah kaya raya, bisnis bangkrutpun tetap ada
suntikan dana. Lha aku, bisnis dari hutang sudah jadi aset sendiri masih
menyisakan hutang. Pahit bener hidup gwe.
Semua orang
memojokkan aku, menyalahkan aku, Bapak membenciku, teman perlahan mulai
meninggalkanku dan aku harus bersembunyi dari distrubutor pemasok barang. Sembunyi
dari teman-teman dan berusaha berlari dari siapapun.
Tapi, lagi-lagi
wanita baik hati itu muncul, dia tidak memarahiku, dia menganggap itu salah
satu kesalahan dan bisa diambil hikmahnya. Pelajaran hidup, jika hidup itu tak
selalu datas. Terkadang kita “kejeglong”
terjerembab jatuh dan susah untuk bangkit. Tapi kita harus berusaha untuk
kembali berdiri, menghadapi masalah itu dan menyelesaikannya.
Wanita berwajah
oriental yang sering dipanggil “nyonyah” oleh tetangga-tetanggaku itu selalu
menghibur, membantu, mengurai masalaha satu persatu dan membantuku. Entah, uang
dari mana yang beliau dapat untuk menyelesaikan hutangku. Aku tahu beliau tak
punya uang, tapi demi putrinya yang bandel apapun dia lakukan.
Saat Bapak tak
mau tahu urusanku,selesaikan sendiri, katanya. Wanita itu tetap mendorongku
untuk tetap tegar menghadapi masa depan.
Ehm, wanita
cantik itu, yang hobi jalan-jalan,
sahabat disaat suka dukaku sudah memberi maaf sebelum aku sempat meminta
maaf. Entah harus kubalas dengan apa
kebaikkannya. Pun saat kawan-kawannya “menawarkan” anak atau keponakan mereka
untuk dijodohkan dengan aku, dengan iming-iming anak mereka dokterlah,
pengusahalah, sawahnya banyaklah, tapi wanita itu tak bergeming, menghormati
keputusanku.
Ibuk yang slalu
siap sedia saat tiba-tiba anaku sakit dan aku sms meminta ditemani beliau, dia
slalu u datang. Slalu membantu saat aku kesulitan uang, walopun aku tahu dia
juga tak punya, dengan ikhlas dia menjual perhiasannya yang mungkin baru saja
dia beli.
Tapi, apa yang
aku lakukan, menengok beliau kadang terkalahkan oleh acara lain, ke mall lah,
jalan-jalanlah, padahal beliau merindukan , Nathan anak sulungku.
Saat beliau SMS
curhat, beliau merasa kesepian, Ibu memang Cuma berdua dengan Bapak, adik
bungsu kos di Jogja. Saya ogah-ogahan mebalas SMSnya, dengan alasan di kantor
sibuk kerja ato berpikiran, ya kalau sudah tua memang begitu, anak-anak hidup
terpisah dan merasa kesepian. Itu sudah wajar.
Ya Tuhan, betapa
jahatnya ku, betapa egoisnya aku. Saat
aku membutuhkan aku ingat, tapi sangat tak butuh aku “melupakan”. Betapa tak
tahu terima kasihnya aku.
Ibuk, maafkan
putrimu ini, walaupun kamu telah memaafkan aku sebelum aku melakukan
kesalahanpun. Semoga Engkau selalu sehat, selalu cantik dan melihat putrimu ini
sukses.
Suatu saat aku pasti membawamu ke Bali dan Lourdes.
Di Bali kita bisa
melihat samudera yang sangat luas dan pantainya yang cantik.
Ibu, hatimu
seluas samudera dan wajahmu secantik pantai berpasir putih.
Pesanmu takkan
pernah kulupakan
“ Ngapiki uwong ra eneng eleke “(berbuat baik terhadap orang lain(apalagi yg membenci kita) tak ada jeleknya”
“ Ngapiki uwong ra eneng eleke “(berbuat baik terhadap orang lain(apalagi yg membenci kita) tak ada jeleknya”
Terima kasih atas partisipasi sahabat dalam Kontes Unggulan : Hati Ibu Seluas Samudera
BalasHapusSegera didaftar
Salam hangat dari Surabaya
Linknya mana nich? Cek ualng dan perbaiki ya Nduk
BalasHapusTerima kasih atas partisipasi sahabat dalam Kontes Unggulan : Hati Ibu Seluas Samudera
BalasHapusSegera didaftar
Salam hangat dari Surabaya
:") aku bener2 ngerasa sayang banget sama ibu pas jadi ibu...rasanya.......banyak dosa... :")
BalasHapussemoga ibu kita selalu diberi kesehatan :")