Cerita dari Sebuah Kamar di RS Karima Utama Solo


Tak biasanya handphoneku berbunyi pada dini hari. Tertera nama Kokok di layar smartphone. Perasaan saya sudah nggak enak. Ngapain juga adikku menelpon malem-malem gini, pasti ada  berita yang tidak menyenangkan dan urgent sehingga dia harus menelpon saya pukul 2 malam.

"Kenapa Om?" langsung saya bertanya pada adik setelah saya pencet icon angkat telpon berwarna hijau. 

"Rapopo mbak" dia tak langsung menjawab, seperti mengambil napas

"Ngopo e gek ngomong" saya sudah nggak sabar menunggu kabar yang bakal dia beritakan

"Anu mbak, Ibuk mau kesrempet uwong, tapi rapopo, wis digowo neng Solo, sesuk operasi" lalu diam

"Tapi Ibuk sadar tho? Ra berdarah-darah tho?" saya tak bisa mengendalikan diri untuk tidak bertanya

"Ora mbak, sadar og" saya agak tenang mendengar penjelasan dia

"Ya syukur, besok siang tak ngetan" saya menutup perbincangan yang membuat saya begitu sedih

***

Saya terduduk lemas, saya membayangkan Ibuk saya tergolek tak berdaya. Perempuan yang terlihat semakin menua karena akhir-akhir ini agak susah makan membayangi pikiran saya. Seharusnya Ibuk bersenang-senang, sebentar lagi mau pasang gigi palsu. Hal yang dia idamkan selama ini, tapi karena harganya lumayan mahal, Bapak saya baru bisa membelikan akhir bulan Oktober lalu. Rencananya. Tapi rencana tinggal rencana, Ibuk saya keburu terbaring di rumah sakit dan semalaman saya tidak bisa tidur menunggu pagi.

Selasa pagi saya tetap ngantor seperti biasa. Paginya saya punya kewajiban mengantar Mas Nathan sekolah dan menyelesaikan pekerjaan di kantor. Jam 11 saya meninggalkan kantor langsung menuju ke Klaten, ke rumah orang tua saya.

Jarak Bantul Solo terasa semakin jauh. Rasanya tak sabar ingin segera melihat kondisi Ibuk. Tapi jarak Bantul ke Solo lumayan jauh, rasanya saya nggak kuat kalau harus motoran sendirian. Akhirnya saya putuskan ke Klaten dulu dan berangkat ke Solo bareng Bapak dan adek.

Ohya, teman-teman sedikit cerita, Ibuk saya tertabrak orang sore harinya saat mau membeli makanan didekat rumah. Sangat sepele. Ibu saya mengalami musibah hanya berjarak 10 meter dari rumah. Jalan yang sudah bisa dia sebrangi sejak kecil. Sudah lebih 60 tahun ibuk tinggak disitu. Tapi baru sekali ini mengalami kecelakaan. Namanya musibah, memang tak ada yang tahu.

Yang menabrak masih muda, tapi dia tak berani mengurus jasa raharja karena harus berurusan dengan polisi. Akhirnya keluarganya membantu biaya meski hanya separuh. Padahal jika memakai jasa raharja bisa tercover hingga 20 juta. Bapak saya orang yang sabar. Berapapun bantuan diterima.

"Wis ben, sangkan paran ya Pin" kata bapak. Pin adalah nama panggilanku, Aprin, tapi Bapak juga memanggil Ibuk dengan nama panggilan yang sama.

*** 

"Piye Ibuk, Pak?"  Saya sudah tak sabar ingin mendengar kabar tentang Ibuk. Bapak yang sudah semalaman berjaga di rumah sakit menyempatkan istirahat beberapa jam sebelum balik ke rumah sakit untuk menunggui Ibuk operasi.

"Yo ngono kae, kudu operasi" Bapak terlihat lemas, sayap-sayapnya nampak patah. Malaikat penjaganya, yang selalu menjaga Bapak sedang tergolek di rumah sakit, kekuatan di keluarga adalah Ibu. Center of power adalah Ibuk. Saat beliau lemah otomatis seluruh daya di keluarga ikut lemah.

Pukul 2 siang kami bertiga, saya, bapak dan adik bungsu berangkat ke RS Karima Utama Surakarta. Pertimbangan keluarga memilih RS Karima Utama karena RS ini khusus bedah tulang, dan milik keluarga yang mendirikan RS Orthopedi Solo serta RS  Kustati yang juga terkenal menangani operasi tulang.

Untuk mendapat kamar di RS Karima Utama cukup sulit karena selalu full bahkan harus mengantri. Pasiennya juga datang dari luar kota, bukan sekedar dari Klaten atau Solo saja.Setelah menunggu semalam akhirnya Ibuk bisa dapat kamar dengan syarat sistem pembayarannya paket, jadi biaya operasi dan kamar sudah jadi satu  sebesar 25 juta rupiah.   

Biasanya RS meminta uang muka sebelum tindakan operasi tapi di RS Karima kami tidak dimintai biaya apapun walaupun sudah tindakan pengobatan, semua dibayarkan saat pasien boleh pulang. Sistem ini tidak memberatkan terutama bagi pasien kurang mampu, tindakan operasi bisa langsung dilakukan meski belum ada pembayaran.

Sesampai di RS saya sudah nggak sabar untuk menemui Ibu. Meskipun belum jam besuk tapi pengunjung bisa masuk ke ruang rawat inap. Karena frekuensi operasi di RS Karima terbilang banyak sehingga pasien yang pulang pergi juga banyak dan bagi yang operasi ringan mereka hanya menginap setengah hari sampai menunggu giliran dioperasi.


Di rumah sakit sudah ada kedua adik saya dan adik ipar. Ibuk dalam keadaan sadar. Kaki dan tangan dibalut perban. Beliau mengeluh kakinya sakit. Tapi saya dan adik-adik berusaha menghibur Ibuk dan memberi kekuatan.


Kami bertiga, saat yg Sulawesi belum dateng

Ruangan kelas 1 di RS Karima Utama sudah berAC, kamar hanya dipisahkan oleh pembatas seperti triplek tebal, atap jadi satu sehingga suasana berisik dari kamar lain sangat jelas terdengar dan cukup mengganggu. Ibu tidak bisa istirahat malamnya karena suara orang mengorok sangat jelas terdengar. Sedih.

Sorenya adik saya yang dari Sulawesi datang, rencananya semingu lagi dia dan istrinya pulang Jogja. Mereka berencana melahirkan disini, tapi karena ada berita Ibuk kecelakaan adik saya memajukan perjalanan pulangnya dengan resiko reschedule tiket pesawat.

Saya dan adek saya yang di Sulawesi

Jarang kami semua bisa berkumpul bersama. Terlebih adik saya yang Sulawesi pulang ke Jogja hanya setengah tahun sekali. Sayang kami berkumpul di moment yang bisa dibilang membuat kami sedih. Tapi, meskipun harusnya kami bersedih, saat ngumpul-ngumpul kami tetap bercanda dan membuat Ibuk tertawa, setidaknya Ibuk bisa melupakan rasa sakit yang beliau tanggung melihat anak-anaknya tertawa dan berkumpul bersama.

Ibuk mendapat jadwal operasi setelah jam 6 sore. Kami sudah bersiap-siap dan menunggu perawat datang. Hingga menit berganti. Jam bertambah. Bertambah pula saudara yang ikut menunggui operasi Ibuk. 

Satu persatu dari kamar sebelah sudah didatangi perawat tetapi Ibuk saya belum juga didatangi perawat. Pukul 8 malem ada dokter anestesi yang datang untuk mengecek kondisi Ibuk. Beliau bilang jika kondisi Ibuk baik. Kami tenang.


Hingga pukul 11 malam barulah perawat datang, mengganti baju Ibuk dengan baju operasi kemudian membawa Ibuk ke ruang operasi. Dari informasi ruang sebelah ternyata urutan operasi berdasarkan pendaftaran. Banyak pasien yang memang tidak menginap karena keterbatasan ruangan, terlebih yang cuma operasi kecil sepereti retak atau hanya tangan yang patah hingga bisa dibawa pulang terlebih dahulu. So, meski kayaknya Ibuk saya sudah menginap dari semalam dan pasien lain baru datang siang, tapi mereka yang duluan operasi karena mereka sudah daftar duluan, hanya saja datang ke rumah sakit menjelang operasi.
 
Menunggu Ibuk operasi, kami berdoa sambil sesekali gojekan



Ruang operasi letaknya tak jauh dari kamar. RS Karima Utama memang tidak terlalu luas dan justru ini memudahkan pasien. Saya agak males di RS super besar yang harus berjalan jauh untuk menuju ke ruang-ruang lain seperti lab, kantin atau ruang admininstrasi.

Mas dan mbak ponakan serta adik ipar saya yang mulai terkantuk di jam 1 dini hari

Ibuk langsung dibawa ke ruang operasi. Kami menunggu di ruang tunggu yang sudah penuh dengan keluarga pasien. Ohya, menurut informasi disore hari dokter hanya membatasi 10 saja. Ehm, saya membayangkan betapa lelahnya dokter ya, seharian sudah praktik dan malamnya masih harus mengoperasi banyak pasien. Bisa jadi mereka hanya tidur 3 jam dalam sehari.

Menunggu itu suatu pekerjaan yang sangat membosankan. Dan menunggui orang operasi bukanlah hal yang membosankan tetapi sebuah penantian yang membuat jantung berdebar. Ketika duduk di ruang tunggu operasi, mungkin tak kasat mata doa-doa dari hati para penunggu beterbangan ke langit. Menuju ke sang penguasa dunia. Saat berada di titik terendah, apa sih yang bisa dilakukan manusia selain berdoa meminta kebaikan dari Sang Ilahi?


Setiap pintu ruang operasi dibuka, saya langsung bergerak dari tempat duduk. Melihat apakah yang keluar Ibuk atau bukan. Sungguh suatu teka-teki, menebak-nebak dan itu sangat tidak menyenangkan. Pukul setengah dua Ibuk sudah keluar dari RS, tempat tidur didorong oleh dua perawat. Sampai di kamar mereka memberi pesan jika Ibuk boleh minum setelah 3 jam dan hanya boleh makan sedikit-sedikit. 

Sesampai di kamar, tragedi di mulai. Suara anak kecil menangis, berteriak kesakitan mulai terdengar. Dari kamar sebelah lagi anak muda menjerit-jerit menahan sakit. Kamar sebelah lagi mulai merintih perlahan. Sungguh, hati saya ikut sakit. Ikut teriris. Rupanya efek obat bius mulai hilang dan mereka mulai merasakan sakit pada luka bekas operasi.

Ibuk masih terlelap, efek obat bius Ibuk belum hilang. 

Suara tangisan dan rintihan masih terdengar. Kata adik saya, setelah operasi dan efek obat bius hilang maka yang terasa adalah tubuh seperti diiris-iris, dan nyeri tak terkatakan. Ehm saya hanya bisa bergidik. Karena saya baru sekali ini menyaksikan orang habis operasi.

Setengah jam kemudian Ibuk mulai bergerak. Ibuk saya yang tak pernah mengeluh mulai merasa kesakitan. Beliau mendesis dan mulai menyebut nama Pangerannya "Duh Gusti paringono kuat" sembari menahan sakit.



"Aduh, loro banget" Ibuk mengeluh kesakitan. Dia juga mulai merasa kedinginan. Adik saya yang paling besar memeluk Ibu , memegang erat tangannya yang dingin. Meskipun saya anak perempuan sendiri tapi ketiga adik saya yang cowok juga sangat dekat dengan Ibuk. Kami berempat sangat dekat dengan Ibuk. Bahkan adik saya yang bungsu meski badannya segede gajah kalau tidur sukanya ngelonin Ibuk.

Jujur, saya nggak kuat mendengar Ibuk kesakitan. Saya menunggu di luar kamar dan Ibuk ditemani adik saya. 

Semakin lama rasa sakit semakin terasa ketika efek obat bius benar benar hilang. Ibuk beberapa kali menanyakan tentang kapan minum obat nyeri. Kakinya serasa dirajang kata Ibuk dan aku bergidik. "Tuhan jika boleh biarlah rasa sakit itu aku yang tanggung saja, biarlah Ibuk tidak merasakan sakit" ujarku dalam hati. Seolah-olah saya bisa mendikte Tuhan.

Ibuk mencari-cari Bapak. Padahal sudah ada kami 4 anaknya yang menunggui. Rupanya saat keadaan drop, bagaimanapun yang dicari adalah belahan jiwanya.

Adik saya mencari Bapak dan ternyata ketiduran di ruang tunggu operasi. Kami tak tega membangunkan, beliau terlihat letih setelah dua hari didera cobaan.

***

Hari ketiga saya tidak bisa menunggui Ibuk. Saudara-saudara, kerabat sudah mulai berdatangan menjenguk Ibuk, memberi support. Terimakasih tak terhingga bagi keluarga besar Bani Tjasmadi yang dari jauh mau meluangkan waktu menengok Ibuk di rumah sakit, kedatangan kalian sungguh memberi kekuatan dan kegembiran tersendiri, Ibuk merasa disayang dan diperhatikan oleh banyak orang.

Malam harinya Ibuk sudah bisa pulang. 

Ini bukanlah akhir tapi permulaan dimana Ibuk harus melawan rasa sakit, rasa sedih menjadi tak sama lagi dan memiliki keterbatasan. 

Terimakasih buat semua yang sudah membantu, sanak saudara, kerabat dan tetangga yang memberi perhatian dan rasa sayangnya pada Ibuk. Untuk ketiga adikku, untuk adik-adik iparku dengan segala pengorbanannya. Semoga Ibuk segera pulih seperti dulu. 

Terimakasih pula bagi dokter dan paramedis yang membantu operasi Ibuk, semoga Tuhan membalas kebaikan saudara.

Komentar

  1. Semoga segera diberi kesembuhan dan bisa beraktivitas seperti sedia kala.

    BalasHapus
  2. Skr gimana keadaan ibu nya mbak,. Sudah pulihkah....?
    Gimana penanganan di rmh skt Karima utama, apakah memang bagus , lebih bagus dr rmh skt ortopedi Suharsono solo....

    BalasHapus
  3. Ini sodara saya nanti sore mau operasi tangan kirinya patah dikarenakan disrempet orang ,,tpi pihak rumah sakit alasan kmar penuh semua,,tlg dibntu biar cepat dapat kmar ,,kasian maseh punya bayi kecill

    BalasHapus

Posting Komentar

Hai kawan, terimakasih sudah mampir ya. Pembaca yang cantik dan ganteng boleh lho berkomentar, saya senang sekali jika anda berkenan meninggalkan jejak. Salam Prima :)