Keseruan Prambanan Jazz Festival 2018 : Petjah!


Minggu (19 Agustus 2018) menjadi hari yang paling saya nantikan sejak bulan Juli. Event musik Prambanan Jazz tidak boleh saya lewatkan setelah tahun sebelumnya saya gagal menyaksikan karena ada agenda lain ke Banyuwangi. 

Prambanan Jazz merupakan festival musik jazz  yang rutin diselenggarakan setiap tahun di komplek pelataran Candi Prambanan. Tahun 2018 merupakan tahun keempat diselenggarakannya Prambanan Festival Jazz. Para musisi jazz dihadirkan untuk memeriahkan event musik bergengsi tersebut. Pastinya penikmat musik yang hadir tak hanya warga masyarakat Jogja tetapi dari berbagai kota diluar Jogja. 

Selama tiga hari puluhan artis dan musisi menghibur para pengunjung Prambanan Jazz dari hari Jumat ( 17 Agustus 2018 ) hingga Minggu (19 Agustus 2019). Ohya, artis yang dihadirkan bukan hanya dari dalam negeri lho tetapi artis international juga seperti Diana Krall dan Boyzone.

Nah, mau tahu keseruan saya menikmati pagelaran Prambanan Jazz Festival 2018? Cekidot babe!

Sinar matahari siang itu begitu menyengat kulit. Pukul satu siang saya berangkat menuju Candi Prambanan yang hanya berjarak sekitar 3 km dari rumah. So close. Yes, jika kamu piknik ke Candi Prambanan kontak saya gaes jika pengen mampir, sangat boleh

Pintu gate Prambanan Jazz dibuka  pukul dua, saya datang lebih awal karena ingin mengantisipasi tumpukan antrian, mengingat ini konser berskala nasional. Dan yang paling penting sih karena saya pengen dapat tempat di paling depan, biar puas lihat artisnya dan motret dengan leluasa. 

Untuk bisa masuk ke area konser pengunjung juga harus membeli tiket masuk Candi Prambanan, dengan harga khusus 25 ribu, berbeda dengan pengunjung biasa yang harga tiketnya 40 ribu. Tetapi, pengunjung yang mau nonton konser boleh beli tiket dengan harga khusus setelah jam 2. Lha 'kan lucu. Kalau yang antri banyak gimana, di pos tiket luar antri, di pintu gate juga antri dengan jam yang mepet. Jujur agak kecewa dengan kebijakan tersebut. Jika saya beli tiket jam 8 pagi mungkin memang nggak wajar, tapi saat itu sudah jam satu lebih 15 menit. Tinggal 45 menit lagi pintu gate di buka. Mosok mesti nunggu lagi. 




Karena males nunggu di luar saya beli tiket masuk candi Prambanan dengan harga biasa yaitu 40 ribu. Papan petunjuk menuju area Prambanan Jazz terpasang rapi di beberapa tempat. Pengunjung bisa dengan gampang menemukan tempat konser, karena kompelk Candi Prambanan begitu luas agak repot juga kalau mesti muter-muter dulu. 

Gapura / pintu gerbang digital

Baliho, umbul-umbul, banner dan pernik-pernik Prambanan Jazz terlihat dimana-mana. Keseruan Prambanan Jazz sudah dimulai dari ramainya banner bergambar artis bintang tamu. Bagi saya yang paling menarik yaitu gapura atau pintu gerbangnya. Karena bukan sekedar gapura biasa tetapi digital seperti LED dengan gambar yang berganti-ganti.

Berbagai foodtruck di area Prambanan Jazz


Tepat pukul dua siang pintu gate Festival Show dibuka. Ada rules yang harus ditaati pengunjung untuk memasuki area konser seperti dilarang membawa makanan dan minuman dari luar, tidak boleh membawa kamera dengan lensa diatas 200mm dan tentunya dilarang membawa sajam ataupun miras dan narkoba.

Artis yang tampil di festival show hari ketiga yaitu Jikustik, Barasuara, Glenn Fredly, Gigi, Sierra Soetedjo, Stars n Rabbit, Idang Rasyidi feat Syaharani dan Tulus. Mereka tampil di dua panggung yang berbeda. Di sebelah selatan ada panggung Hanoman dan panggung Roro Jonggrang di sisi utara.

 
Begitu memasuki zona Prambanan Jazz saya langsung membeli air mineral di food truck. Banyak kuliner yang bisa dinikmati pengunjung, bahkan ada Pasar Kangen juga, tapi saya nggak sempet lihat lihat karena sebagai warga Jogja dah sering ke Pasar Kangen. Mungkin bagi pengunjung luar Jogja sangat tertarik mencicipi kuliner di Pasar Kangen. Tapi, jangan kaget dengan harganya ya gaes. Pastinya berkali lipat dengan harga normal karena mereka juga mengeluarkan bea sewa yang juga mahal.


Panas semakin menyengat, pengunjung bergerombol berteduh di bawah pohon. Sedang saya memilih merapat ke depan panggung. Karena memang saya pengen dapat tempat di depan. Rupanya tak hanya saya yang mencari posisi terdepan. Banyak mbak-mbak macam saya dan adik-adik ABG yang berebut tempat di depan panggung. Yang datang rame-rame terus ngetag tempat pake tas atau nitip tas mereka di situ agar tidak ditempati orang lain. Lucu juga ya kelakuan para penikmat musik. :)

Menanti Jikustik tampil
Pukul tiga line up band dari MLD mulai menghibur pengunjung, saya memilih duduk-duduk dulu dibalik pagar besi karena panasnya nggak karuan. Terlebih penonton menghadap ke barat, otomatis kami langsung terpapar sinar matahari. Tak mau gosong, saya sudah prepare memakai topi, kacamata hitam serta memakai penutup muka.


Prambanan Jazz tahun 2017 cukup sukses meski sempat ramai di sosial media kekecewaan para penonton, karena beberapa artis perform tidak sesuai jadwal dan malah ngaret. Hal ini tidak sata temui di Prambanan Jazz 2018, dari awal semua band tampil tepat waktu sesuai rundown acara. Penyelenggara pasti sudah belajar dari event sebelumnya dan malu donk jika mengulang kesalahan yang sama untuk event sebesar ini.


Jikustik, Lagu Romantisnya Bikin Baper




"Selamat sore Jogja" sapaan Brian sang vokalis Jikustik  menyapa para penonton. Band asal Jogja ini menghibur semua penonton dengan lagu-lagu romantisnya. Saya pasti hapal dengan lagu-lagu Jikustik karena memang Jikustik termasuk band lama dan berdiri saat saya masih kuliah dulu. Personil Jikustik sendiri sudah banyak yang ganti dan saya sudah underestimated dengan Brian, vokalis yang menggantikan Pongki Barata.

Tapi, saya salah. Suara Brian yang warna suaranya mirip Pongki ternyata membuat Jikustik hidup dan saya tidak menyangka lagu-lagu Jikustik juga dikenal oleh para adek-adek. Penampilan Brian yang atraktif membuat adek-adek di dekat saya  berteriak-teriak memanggil Brian sang vokalis.





Selama 45 menit Jikustik membawa aura romantis di Hanoman Stage. Lagu Puisi, 1000 tahun lamanya, Untuk Dikenang, Dia Harus Tahu, Setia, dan beberapa lagu hits dari Jikustik lumayan bikin saya terbawa perasaan. Maklum lagu-lagu Jikustik booming di masa-masa dulu saya masih jadi anak kuliahan dan beberapa kali lihat konser Jikustik dengan personil yang lama.


Lagu Selamat Malam Dunia dengan musik disko membuat para penonton melompat kegirangan. Personil Jikustik yang kompak dengan kostum bernunansa batik dan lurik berpamitan pada para penonton. Tepat pukul 16.15 Jikustik mengakhiri performnya dengan teriakan terimakasih dari semua penonton.

Barasuara Menghentak Panggung Hanoman

Gantengnya Mas IGA :)

Band yang tampil setelah Jikustik undur diri adalah Barasuara. Sering saya mendengar nama band indie ini tetapi belum sekaliou mendengarkan lagu-lagunya. Jadi, ketika Barasuara tampil, jujur saya agak roaming dan melongo aja mendengarkan lagu-lagu Barasuara menggebrak dengan genre musik beralirak indie rock, folks dan blues.

Gerald dengan rambut terurai


Para penonton meneriakkan nama Marco, Marco ataupun Gerald. Maarco adalah sang drummer dan Gerald pencabik bass yang berambut gondrong dengan face imut-imut idola para ABG.  Karena tak hapal lagu-lagu Barasuara saya malah bisa menangkap dengan jelas lirik-lirik lagu Barasuara yang  mengambarkan kondisi sosial masyarakat Indonesia sekarang.



Barasuara memiliki tiga vokalis dan dua diantaranya adalah perempuan yaitu Asterika dan Puti Chitara. Warna vokal melengking mereka sungguh memberi warna pada setiap lagu Barasuara. Puti dan Asterika mengenakan kostum yang etnik sedangkan Mas Iga sangat percaya diri dengan kemeja batik yang ternyata menjadi kostum kebanggaan setiap dia perform. Nah, mas Iga aja bangga pake batik, masak kamu enggak gaes?

TJ n Asterika



Api Lentera, Nyala Suara, Bahas Bahasa, Mengunci Ingatan, Taifun dan Sendu Melagu dimainkan dengan apik oleh Barasuara. Menghentak  panggung dan mampu mengajak penonton untuk bernyanyi bersama. Iga masardi memang tidak bisa berbasa-basi terlalu lama karena durasi waktu yang sangat ketat. Tapi sapaan dan candaan Gerald mampu membuat penonton terbahak. Dia menuntup muka TJ dengan handuk, tapi TJ masih bisa memainkan bas dengan baik meski matanya tertutup.

TJ diusili Gerald
Matahari perlahan mulai tenggelam. Sinar mentari tak lagi menyengat. Bersamaan dengan selesainya perform Barasuara, saya beringsur mundur dari panggung Hanoman. Mundur ke belakang dan memberi kesempatan pada penonton yang ingin menyaksikan Star n Rabbit. Saya berpamitan dengan mbak-mbak disamping saya. Mereka berdua datang dari kota Semarang dan menyaksikan Prambanan Jazz dari hari pertama hingga ketiga.

Gigi Mengobati Rindu Para Fans Generasi Milenial



Band yang sangat saya nantikan di Prambanan Jazz 2018 di Festival Show adalah Gigi. Band yang digawangi oleh Armand Maulana, Thomas, Gusti Hendy dan Dewa Budjana masih berkibar meski sudah 24 tahun berkarya di blantika musik Indonesia. 


Gigi pentas bersamaan dengan Stars n Rabbit tapi di panggung yang berbeda. Saya bergerak meninggalkan kerumunan di depan Hanoman Stage dan berpindah ke area Roro Jonggrang Stage yang berada disisi utara Candi Prambanan. Roro Jongrang Stage terpisah dari Hanoman Stage, disinilah artis yang akan tampil disesi Special Show bermain.




Seperti biasa Armand Maulana tampil begitu atraktif dengan suara yang tak berubah meski usia tak lagi muda. Polah Armand yang jejingkrakan di panggung menghipnotis penonton untuk meloncat juga. 


Perbedaan usia pastilah membawa perbedaan idola juga. Jika di panggung sebelumnya penonton kebanyakan anak muda generasi Z  dan generasi X, di Roro Jongrang stage saya bukan lagi jadi yang paling tua, masih banyak generasi yang lahir sebelum saya.





Meskipun bukan band bergenre jazz, Gigi berusaha menampilkan lagu dengan aransement jazz. Gigi pun melantunkan single 'Nakal' dan diaransement ulang untuk menyesuaikan tema Jazz. Armand dan Hendy memberi ruang yang sangat besar bagi Thomas dan Bujana untuk memainkan berbagai notasi jazz rumit.


Setelah lagu Jomblo, Nakal, dan Garis Warna Gigi melanjutkan penampilan dengam lagu 'Bumi Meringis'. Sang gitaris Dewa Bujana memainkan musik instrumental dengan gitar bersuara sitar ala timur tengah. Selain itu, Hendy juga memainkan sebuah kendang elektrik.


Lagu Bumi Meringis dipopulerkan pada tahun 1997, saat itu Kalimantan ekspor asap ke Singapura dan Malaysia. Lagu Bumi Meringis menggambarkan keadaan pada masa itu. Empat puluh lima menit berlalu tanpa terasa, Gigi mengobati kerinduan Gigikita, sebutan untuk para fans Gigi. Terlebih saat Gigi melantunkan lagu 11 Januari dan Ya Ya Ya sebagai gong. 
 
Pukul 18.45 penampilan Gigi berakhir, semua penonton diharuskan keluar dari area Roro Jonggrang stage karena stage akan dipersiapkan untuk sesi Special Show yang menampilkan Dewa reunion Ari Lasso dan Boyzone, boyband legendaris dari Irlandia.

Nah, seperti apa  perform Band DEWA 19 dan BOYZONE? Sabar, bakal segera saya tulis gaes.

Komentar

  1. Waah Prambanan Jazz surga buat pecinta jazz ya Mbak. Betah banget mbak Prima dari jam satu siang sampai malam.

    BalasHapus
  2. Seru banget ya, Mbak. Liat fotonya jadi berasa ada di sana langsung.

    BalasHapus
  3. Gak sabar nunggu tulisannya yang Dewa 19. Ditunggu ya ....

    BalasHapus
  4. Td nya aku pikir lagu2nya bakal jazz, ternyata penyanyinya malah banyak yg bukan jazz yaaa. Aku malah suka yg begini.. Kalo beneran jazz malah emoh nontonnya :p. Ga masuk lagu2 jazz kalo aku mba.. Blm bisa menikmati :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Hai kawan, terimakasih sudah mampir ya. Pembaca yang cantik dan ganteng boleh lho berkomentar, saya senang sekali jika anda berkenan meninggalkan jejak. Salam Prima :)