Jika Sambatan dan Rewang Tak Ada Lagi

Kata gotong royong dulu saat SD sering saya dengar dalam pelajaran PPKN ataupun IPS. Gotong royong merupakan salah satu ciri-ciri bangsa Indonesia selain ramah dan sopan. Itu dulu, entah sekarang :P. Dari arti kata, gotong royong merupakan tindakan/bekerja bersama-sama untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.

Dulu (lagi) gotong royong sering dilakukan oleh warga, dari acara hajatan, bersih kampung, sampai membangun rumah seseorang dulu dilakukan secara bersama-sama, dalam artian semua warga membantu tanpa dibayar tentunya. Mereka ikhlas saling membantu demi kebersamaan.


Di Jawa, khususnya kampung saya sambatan sudah menjadi hal yang tak terpisahkan dari kehidupan bermasyarakat. Saat ada tetangga ewuh mantu, maka tetangga perempuan rewang (bantuin masak), sedangkan para bapak-bapak akan sambatan membuat bleketepe ataupun tenda dan menata tempat. Cantik-cantik gini :D, saya dulu juga suka rewang, kalau Ibu-ibu bertugas memasak, kami yang muda-muda ater-ater makanan ke tetangga.

Selain bisa membantu meringankan pekerjaan yang punya hajat, rewang, sambatan merupakan ajang untuk bisa bertemu dengan tetangga atau saudara, bisa ngobrol dan ngerumpi cantik dan pastinya mempererat rasa persaudaraan.


Sayang sekali, makin kesini, orang hajatan lebih suka ama yang praktis dan simple. Miereka memilih merayakan hajatan di gedung dan segala keperluan sudah ditanggani oleh pihak gedung ataupun event organizer. Begitupun dengan urusan masak memasak, sudah dihandle oleh pihak catering. Tradisi rewang dan sambatan makin jarang dan mungkin sebentar lagi akan hilang.


Adanya cara baru yang lebih  praktis dan mudah pastinya membuat tetangga tidak kerepotan dan yang empunya hajat tidak harus memikirkan banyak hal karena sudah ditangani pihak EO, tapi banyak hal juga yang hilang dari tidak adanya rewang ataupun sambatan. Rasa kegotongroyongan yang merupakan sifat asal bangsa ini akan luntur bahkan hilang, saling membantu dalam kesusahan ataupun kegembiraan akan musnah. Berganti sifat individualisme yang makin kentara di era global ini. Bahkan di perkotaan, mengenal tetangga samping rumah saja sudah merupakan prestasi tersendiri.



Selain segala "rasa" yang akan hilang, berbagai ketrampilan pun ikut lenyap. Generasi muda tidak tahu apa-apa, taunya hanya facebook dan update status. Budaya asli yang dibanggakan akan hilang. Saat rewang, banyak pernak pernik yang anak muda perlu diajarkan, seperti membuat takir dari daun. Di rewangan, yang mengurusi hal beginian biasanya yang sudah sepuh, yang muda melihat dan belajar.  Dan suatu saat mengantikan, tapi apa iya hal ini akan tetap lestari jika sudah tidak ada rewang dan sambatan?

Jujur, saya suka menjadi manusia modern, tapi lebih bangga menjadi manusia yang mengenal dan nguri-uri budaya sendiri.

Sobat Aprint, masih adakah  kebiasaan gotong royong disekitar kalian?

Komentar

  1. semoga gotong royong...makin terus dapat di lestarikan mbak...mantap salam kenal mbak....

    BalasHapus
  2. Iya mungkin krn skrg sudah marak WO kali ya.... Tapi untungnya waktu nikahanku masih ada tradisi rewang meski hanya tetangga dekat dan tetep nyambat tukang masak dan tukang tukang lainnya....

    BalasHapus
  3. Di domisili saya sekarang sudah menipis banget. Tapi alhamdulillah di kampung asal saya masih ada..

    BalasHapus
  4. Sekarang sulit mengharapkan tetangga, akhirnya bayar aja catering atau tukang2. Tapi di kampung ortuku masih rewang2 lo.

    BalasHapus
  5. Ih, bener banget mba prima. Kalau di perkampungan barangkali masih ada, kayak di kampung ibuku. Kalau di komplek perumahan sih nggak ada.

    BalasHapus
  6. sama mba, di kampung halama saya juga masih berlaku...asik tetangga dan saudara pada ngumpul

    BalasHapus

Posting Komentar

Hai kawan, terimakasih sudah mampir ya. Pembaca yang cantik dan ganteng boleh lho berkomentar, saya senang sekali jika anda berkenan meninggalkan jejak. Salam Prima :)