Antaka Pura: Istana Kematian Ratu Mas Malang


 
                                                   

Konon, Pleret adalah pusat Kerajaan Mataram. Pleret adalah bekas ibu kota Mataram pada masa Amangkurat 1. Terlahirnya Kraton Pleret juga dikatakan karena keegoisan seorang anak yang tidak mau tinggal dengan ayahnya. Plered banyak menyimpan kisah-kisah tragis yang mengagumkan. Diantaranya kisah cinta Nyai Truntum (Ratu Mas Malang). Kisah cinta yang tragis ini membutuhkan tumbal yang kelewat batas.

Makam Ratu Mas Malang atau Makam Gunung Kelir  dibangun pada tahun 1665 dan selesai pada tanggal 11 Juni 1668 dengan menggunakan bahan bangunan berupa batu putih untuk dinding dan tembok keliling serta batu andesit untuk nisan. Komplek Makam Ratu Mas Malang terletak dipuncak sebuah bukit yaitu Gunung kelir dengan ketinggian 99 m dpl. Pada komplek makam ini terdapat 28 nisan, yang dikelompokan dalam 3 lokasi yaitu 19 nisan berada dihalaman depan, 1 nisan berada dihalaman belakang (nisan Dalang Panjang Mas) dan 8 nisan berada di halaman inti yang salah satunya merupakan nisan dari Ratu Mas Malang.

Komplek Makan Ratu mas Malang merupakan salah satu situs tinggalan dari Amangkurat I atau Amangkurat Agung yang berada di Desa Pleret, Kec.Pleret, Kab. Bantul, DIY . Amangkurat I adalah Raja Mataram Islam Putra dari Sultan Agung Hanyokrokusumo yang  memerintah pada tahun 1646-1677 dan berkraton di Pleret. 

Kini, Kraton Pleret hanya menyisakan situs sumur gumuling yang terletak di Dusun Kedaton, reruntuhan benteng kraton, situs makam Ratu Malang, situs kedaton, dan tanah-tanah tinggi bekas tanggul. Pusat Kerajaan Mataram ini juga meninggalkan beberapa nama yang dimiliki oleh dusun-dusun seperti Kedaton, Keputren (tempat para putri), Kauman (tempat ahli agama), Segarayasa (laut buatan), Pungkuran (belakang kraton), Gerjen (tempat abdi dalem gerji), Sampangan (tempat Pangeran Sampang).
Dalam Babad Tanah Jawi diceritakan, pada suatu ketika Sunan Amangkurat I (1746-1777) merasa jumlah selirnya yang sudah 43 orang itu masih dirasa kurang. Dia lalu memerintahkan abdi dalem untuk mencarikan wanita untuk dijadikan selir tambahan. Syahdan di Mataram ada seorang dalang Wayang Gedok terkenal yang bernama Ki Wayah. Dia memiliki putri yang sangat cantik yang berprofesi sebagai pesinden. 

Sayangnya, ia sudah jadi isteri Ki Dalem atau Ki Panjang Mas, seorang dalang ternama di Mataram. Ada catatan yang menyatakan bahwa Ki Panjang Mas adalah dalang keraton yang hidup sejak masa Panembahan Sedo Krapyak. Sekalipun putrid Ki Wayah itu sudah bersuami, Amangkurat I tetap bersikeras menginginkannya. Informasi berikutnya ternyata Nyi Dalem sedang hamil dua bulan, tetapi raja tetap akan menikahinya setelah ia melahirkan. Anak bawaan Nyi Dalem yang kemudian diberi nama Pangeran Natabrata atau Raden Resika itu diakui dan disayangi seperti anak sendiri oleh sang raja. Raja pun sangat mencintai Nyi Dalem, bahkan dia lalu diangkat sebagai Ratu Wetan yang kemudian dikenal dengan sebutan Ratu Mas Malang.

Di kalangan kerabat kraton pun timbul kecurigaan bahwa sang raja akan mengalihkan putera mahkota ke Pangeran Natabrata, sekalipun dia bukan darah Mataram. Kecurigaan tersebut semakin menguat ketika terjadi dua kali percobaan pembunuhan terhadap putra mahkota dengan racun yang dilakukan oleh sang raja sendiri. Percobaan pembunuhan putera mahkota yang terjadi setidaknya dua kali itu menimbulkan perhatian besar sampai ke luar kerajaan. Masuknya Ratu Mas Malang ke dalam istana telah menimbulkan intrik politik yang luar biasa sehingga raja pun menjadi tega untuk melenyapkan putranya sendiri demi kepentingan istri kesayangan dan anak tirinya. Tindakan Amangkurat I itu sungguh sulit dipercaya oleh akal sehat. Maka sangat masuk akal bahwa peristiwa itu dicatat oleh pemerintah Belanda di Batavia dalam laporan umum tertanggal 21 Desember 1663. Salah satu bunyi laporan khusus tersebut adalah bahwa kejahatan yang mengerikan itu "akan melampaui segala kekejaman yang telah dilakukan terdahulu" (de Graaf, Runtuhnya Istana Mataram, hlm.21).

Tak lama setelah menikahi Ratu Mas Malang, raja memerintahkan untuk membunuh Ki Dalem. Ratu Mas Malang sangat bersedih atas kematian mantan suaminya itu, kemudian ia jatuh sakit semacam muntaber dan kemudian meninggal. Amangkurat I curiga bahwa kematian Ratu Mas Malang adalah akibat persekongkolan para selir yang lain. Konon perlakukan raja yang berlebihan terhadap Ratu Mas Malang, membuat iri para selir dan mereka bersekongkol untuk membunuh dengan racun atau dengan guna-guna. Yakin akan perkiraan tersebut, raja pun marah besar dan seluruh 43 orang selir yang dianggap bersekongkol itu dibunuh dengan cara di masukkan bersama-sama ke dalam kamar, dikunci dari luar dan tidak diberi makan berhari-hari. Tentu saja para abdi dalem yang lain tidak ada yang berani protes atas tindakan kejam sang raja tersebut. Akibatnya satu per satu para selir itu pun meninggal kelaparan di lingkungan istana yang berlimpah makanan dan minuman. Sungguh tragis memang....

Raja yang bersedih ditinggalkan Ratu Mas Malang, memerintahkan agar jasad permaisurinya itu dibawa ke puncak Gunung Kelir. Jasad itu oleh raja dilarang untuk dikuburkan. Selama berhari-hari raja menunggui jasad Ratu Mas Malang di Gunung Kelir dan juga anak bawaan sang permaisuri yang entah kenapa ikut meninggal juga. Selama berhari-hari itu pula, raja sering tidur disamping jasad Ratu Mas Malang. Beberapa pejabat istana telah membujuknya agar kembali ke kraton dan mereka akan menguburkan jasad sang puteri, tetapi raja menolaknya mentah-mentah. Hingga pada suatu malam raja bermimpi, di mana di dalam mimpinya ia melihat Ratu Mas Malang telah berkumpul kembali dengan suaminya Ki Dalem yang telah lebih dulu meninggal. Baru setelah ada mimpi itu, raja bersedia meninggalkan Gunung Kelir dan memerintahkan untuk mengubur jasad Ratu Mas Malang.

                                                 
Menurut cerita tutur ada versi lain yang menceritakan kisah tentang Ratu Mas Malang dan Amangkurat I. Konon menurut kabar dari mulut ke mulut itu, sebenarnya sang raja mengalami masalah biologis, yaitu tidak mampu ereksi lagi. Atas nasehat Ibu Suri, keperkasaan sang raja itu bisa dipulihkan lagi jikalau ia memperistri Nyi Dalem yang dianggap memiliki keistimewaan. Mendengar anjuran Ibu Suri ini, raja pun segera ingin melihat Nyi Dalem. Lalu dia menyamar sebagai rakyat biasa, mendatangi pertunjukkan wayang yang dimainkan oleh Ki Dalem dengan istrinya sebagai pesinden. Singkat cerita, raja langsung tertarik pada kecantikan Nyi Dalem dan memerintahkan untuk segera membawanya ke kraton dengan segala cara. Saat pertunjukan Ki Dalem sedang seru-serunya, lampu blencong yang menerangi kelir wayang tiba-tiba padam. Dalam keadaan gelap-gulita, Nyi Dalem yang sedang nyinden itu diculik paksa. Pada saat yang sama, Ki Dalem berserta seluruh penabuh gamelan dibunuh. Pertunjukan pun berubah jadi gempar.

Amangkurat I kemudian menguburkan Ratu Mas Malang di Gunung Kelir dan kemudian membangun komplek makam tersebut dengan tembok keliling dari batu putih. Berdasarkan penelitian oleh BP3 DIY tebal tembok keliling antara 120-155 cm dan tinggi Tembok keliling mencapai 200 cm. Makam Gunung Kelir oleh Amangkurat I kemudian disebut sebagai Antaka Pura yang berarti istana kematian.  
Susuhunan Amangkurat 1 terkenal dengan sifat kekanak-kanakan dan tidak berfikir panjang. Susuhunan gampang sekali menjatuhkan hukuman mati kepada siapa pun yang dianggap bersalah atau menghalangi kehendaknya. Tidak peduli itu saudaranya, mertuanya, inang, abdi dalem keputren, dan rakyatnya.
EHm..ternyata cinta buta sudah ada sejak zaman dulu, pembunuhan yang berawal dari cinta tak hanya ada di berita tivi, beratus-ratus tahun yang lampau sudah ada.

Komentar