Perlukah Belajar Calistung di Usia Dini?

Beberapa hari yang lalu saya membaca sebuah artikel yang berjudul Mengapa Anak TK Tak Boleh Diajari Calistung, dan bagi saya artikel ini sangat menarik. Kenapa?Karena sat ini saya mempunyai anak balita yang tahun depan sudah masuk TK. Dalam tulisan ini Mbak Yani Widianto selaku pemilik blog dan penulisnya memaparkan jika sambungan otak anak usia 0-7 tahun itu belum sempurna, otak mereka baru siap menerima hal-hal kognitif (belajar calistung) setelah usia 7-8 th. Sebelum usia itu, dunia mereka yg pantas adalah hanya bermain, bermain dan bermain. 

Lalu apa akibatnya kalau masa  usia bermain mereka direnggut untuk belajar hal-hal  yg kognitif? –> Dewasanya kelak mereka bertingkah spt anak kecil: suka mengurung burung demi kesenangannya sendiri, sakit2an karena ingin diperhatikan orang2 sekitarnya, spt anggota DPR yg saya tuliskan di atas, korupsi demi kepentingan diri sendiri/keluarga/golongan dan tdk merasa bersalah malah ngeles terus di pengadilan, dan sikap kekanak2an lainnya.

Faktanya, tidak akan ada bedanya antara anak yang bisa membaca pada umur 4 tahun dengan anak bisa membaca di usia 6 tahun. Hal itu tidak lantas membuat anak umur 4 tahun ini menjadi superior. Justru, biarkan mereka bisa pada saatnya, karena di situlah keindahannya.
Saat ini anak saya berusia 3 tahun dan saya sudah memperkenalkan huruf dan angka. Lewat lagu dia sudah mulai hafal susunan huruf dan angka sampai 10. Malah terkadang saya mencoba mengajari dia belajar membaca, ya niatnya biar dia sudah lebih bisa dari pada anak lain saat masuk TK nanti. Tapi sayang, anak saya tidak tertarik dan selalu bilang  "emoh" saat saya ajak belajar. Terkadang saya merasa jengkel, tapi lama-lama saya cuek aja, toh nanti di SD juga diajarin. Entah, mungkin sikap saya ini salah dan terkesan tak mau tau masalah perkembangan anak.

Tapi, sekarang setelah membaca artikel mbak Yani ini, saya mulai membenarkan sikap saya tersebut, membiarkan dia tetap bermain dan bermain saja. Saya juga pernah mendengar dari salah satu pembicara saat saya diklat prajab beberapa waktu yang lampau tentang teori Aristoteles:

 Aristoteles merumuskan perkembangan anak dengan 3 fase perkembangan, yaitu
1.  Fase 1 (usia 0-7 tahun) 
Pada usia ini disebut masa anak kecil dan kegiatan pada fase ini hanya bermain.
2.  Fase 2 (usia 7-14 tahun)
Pada usia ini disebut masa anak atau masa sekolah dimana kegiatan anak dimulai dari belajar di sekolah dasar.
3.  Fase 3(usia 14-21 tahun)
Masa ini disebut masa remaja atau pubertas, masa ini adalah masa peralihan dari anak-anak menjadi dewasa

Saat anak berusia 0-6/7 tahun adalah waktunya anak bermain, jadi jangan larang dan puaskan rasa ingin bermain anak. Karena kalau fase bermain ini tidak terpuaskan, dia akan mencari kepuasan di masa dewasa, padahal saat sudah dewasa seorang anak sudah tidak boleh "bermain" dan bersifat kekanak-kanakkan.

Para peneliti otak diseluruh dunia sepakat bahwa otak seorang anak belum siap untuk mendapatkan hal koqnitif seperti belajar calistung.  Apa akibat dari pemaksaan terhadap hal-hal kognitif?
  • membuat anak tidak mampu menunjukkan emosi yg tepat.
  • kendali emosi (intra personalnya terganggu)
  • sulit menunjukkan empati.
 Dan yang saya takutkan dari akibat tersebut adalah jika anak kita tidak bisa menunjukkan rasa empati bahkan tidak memiliki perasaan tersebut.

Empati
Ada banyak definisi tentang arti kata EMPATI, tapi ada dua yang menurut saya lebih jelas dalam penggambarannya.
  • Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, empati adalah keadaan mental yang membuat seseorang mengidentifikasi atau merasa dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain.
  • Sedangkan menurut Alfred Adler menyebut empati sebagai penerimaan terhadap perasaan orang lain dan meletakkan diri kita pada tempat orang itu. Empathy berarti to feel in, berdiri sebentar pada sepatu orang lain untuk merasakan betapa dalamnya perasaan orang itu.

    Bagi saya kepekaan empati itu sangat  perlu apalagi kita sebagai makluk sosial. Tidak mungkin kita akan cuek saja, saat ada kawan atau tetangga kita yang kelaparan ataupun sedang tertimpa kemalangan. Jika kita  menempatkan diri pada posisi dia. Oleh karena itu, agar dapat berempati, pertama-tama, kita harus memahami keadaan orang lain dan, kedua, kita berbagi perasaan yang timbul dalam dirinya karena keadaan itu. Ya, empati berarti kita merasakan penderitaan orang lain di hati kita. Merasa kesusahan saat orang lain bersusah hati. Dengan timbulnya rasa empati, otomatis kita akan iba dan berbaik hati untuk membantunya. 

    Empati adalah Kunci Kebaikan Hati dan Keibaan Hati 

    Saya  tidak bisa membayangkan saat anak saya dewasa kelak menjadi pribadi yang egois dan tidak punya kepekaan empati. Menutup pintu keibaan hatinya yang lembut dan mengabaikan kebutuhan orang lain. Padahal dalam semua agama khususnya menurut keyakinan saya,orang Kristen diperintahkan untuk mengasihi sesamanya dan untuk mengasihi satu sama lain dengan sungguh-sungguh. (Matius 22:39; 1 Petrus 4:8) Meskipun kita benar-benar berniat untuk mengasihi satu sama lain dengan sungguh-sungguh, kita sering kali kehilangan kesempatan untuk meringankan penderitaan orang lain. Kesempatan itu mungkin lewat begitu saja karena kita tidak tanggap terhadap kebutuhan mereka. Empati adalah kunci yang dapat membuka peluang bagi kita untuk berbuat kebaikan hati dan beriba hati.

    Berbagi dengan sesama credit
    Terlepas dari benar tidaknya pengaruh belajar Calistung pada usia dini dengan kematangan emosi di masa depan, saya lebih memilih membiarkan anak berkembang sesuai usianya. Nanti saja saat dia berusia 5 tahun nanti, saya akan mulai mengajarkan Calistung pada anak saya. Saya mencoba menghindari menjadi orang tua yang paradigma-nya “kudu lebih dari” atau “ngga mau ketinggalan” dari orang lain.
    Bangga kalo anak balita-nya udah jago baca, pinter bahasa inggris walau kosa kata bahasa indonesia-nya balelol, bangga anak nenteng2 dan jago pake tablet bahkan punya facebook yang naasnya di culik orang, dll….Tapi lupa pembentukan mental dan budi pekertinya dimasa seharusnya mereka di didik untuk itu, terlebih lupa bahwa anak2 kecil kita ya memang bermain kerjaan utamanya,sebagai media belajar berinteraksi, komunikasi, berempati, sosialisasi, belajar beremosi positif sehingga bisa rukun dan tepa salira saat besar nanti…


    Tapi kembali ke kemampuan dan minat anak, setiap anak unik dan tidak sama, ada anak yang baru 3 tahun tapi minatnya terhadap calistung sangat besar. Asal sistem pembelajarannya tidak dipaksa dan dijalani dengan hepi dengan sarana permainan misalnya, menurut saya sah-sah saja. 


Referensi :
1. http://wol.jw.org
2. http://yani.widianto.com
3. Http://edukasi.kompas.com




Komentar